Kamis, 13 Juli 2017

TUGAS ARTIKEL STARTUP

Bukalapak.com adalah ecommerce di Indonesia yang dikenal kuat di niche sepeda. didirikan awal 2010 dengan sumber daya sangat terbatas, dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun, Bukalapak.com telah menjadi ecommerce yang sangat diperhitungkan, memiliki 25,000 seller dan 60,000 user, pada pertengahan tahun 2011 Bukalapak.com mendapatkan suntikan dana dari Batavia Incubator untuk ekspansi.
Mari kita simak kisah bagaimana Achmad Zaky, founder dan CEO Bukalapak mendirikan dan membesarkannya dan seperti apa konsep-konsepnya dalam membangun sebuah bisnis.
How to start & get idea
Start awalnya dari ide. Tapi ya ide cuma ide kalau tidak dieksekusi, makanya langkah berikutnya adalah eksekusi, eksekusinya harus continue, terus menerus, fokus dan konsisten, jangan melihat bisnis hanya 6 bulan atau 1 tahun, mikirnya harus long term 6 tahun. Tim penting sekali, di Bukalapak ataupun Suitmedia, recruiting menjadi proses yang luar biasa penting, kami tidak ingin class B people masuk, kami inginnya class A people, orang yang punya kompetensi dan passion, sevisi dengan kita, chemistrynya ada.  3C  yang kami pegang terkait recruitment adalah Commitment, Capability atau Competency satu lagi Compatibility. Harus satu budaya, satu pemahaman, satu pemikiran.
Bagaimana cara dapat ide yang bagus ?
Ide selalu datang dari masalah yang kita hadapi dan kemudian kita hubungkan kompetensi apa yang kita miliki dengan ide atau peluang yang ada, misalnya dulu saya bangun Suitmedia, kami membangun kompetensi untuk membuat website dan desain yang bagus untuk klien, me-marketingkan website dan sebagainya. Di saat yang sama teman-teman kami sering tertipu saat belanja online, hal-hal seperti ini menjadi pijakan untuk kami membuat Bukalapak.com yang ternyata bisa jalan, karena kami punya kompetensi dalam membuat dan me-marketingkan website. Jadi, selalu berawal dari titik apa yang kita punya. Suitmedia dulu berawal dari kompetensi para foundernya di engineering, lalu kami menarik orang design, kok rasanya kompetensi kami di design juga oke, akhirnya kami buat produk yang ternyata jalan.
Kalau Hijup idenya berasal dari karyawan kami, ada yang nyeletuk pingin punya ide jual jilbab online, momentnya pas saat ramadhan, ya sudah kami coba. Kebetulan di kantor ini kami sangat terbuka akan ide. Jika teman-teman ada ide dan manajemen merasa punya potensi pasar, ya sudah kami coba jalankan. Karena resources kami di Suitmedia sudah ada semua, Suitmedia sebagai engine titik awal kami.
Jadi fokus di kompetensi saja, jangan fokus di sesuatu yang bukan di kompetensi kita.
Ide tidak hanya di awal, tetapi juga ada di proses, justru ide yang ada di  saya cenderung setuju kalau ide itu cheap, yang penting eksekusi. Ide gampang ditiru tetapi eksekusinya yang luar biasa sulit ditiru dan tentu saja eksekusi butuh ide. Ide mau buat produk apa, ide untuk menggaet user, strateginya seperti apa, justru saya melihat ide ada di dalam proses.
Masuk niche sepeda karena tidak sengaja
Bukalapak dimulai pada Februari 2010.
Kenapa kami masuk di niche sepeda ?  karena … tidak sengaja !
Tool marketing kami saat itu hanya Facebook. Kami spend Facebook ads hanya sedikit, kami tidak spend budget untuk Adwords, tidak spend budget untuk iklan di majalah, hanya dari teman ke teman yang mengajak join Bukalapak, kami add teman-teman di Facebook dan mengajak mereka. Bahkan orang yang kami tidak kenal juga kami add, misalnya orang yang me-like fanspage suatu toko online, kami kan tidak kenal dan kami hanya merasa orang-orang me-like toko online harusnya suka jualan online. Saat itu kami benar-benar ketok pintu.
Kebetulan kebanyakan dari orang yang kami add ini suka sepeda. Kami juga terbantu beberapa moment seperti sepeda fixie yang waktu itu cukup dashyat, juga Car Free Day.
Kombinasi dari kontinuitas, fokus, targeted pada orang-orang yang menurut kami suka jualan online konsisten mendekati calon pembeli, juga faktor luck karena trend sepeda sedang rising. Hal seperti ini yang akan membangun Bukalapak.com
Pada saat itu hanya 3 orang yang terlibat di Bukalapak, 1 staf full time, 1 bantu-bantu karena aslinya engineer, lalu terakhir saya sendiri, yang paling massive mengundang orang masuk Bukalapak waktu itu saya di sela-sela pekerjaan di Suitmedia atau malam harinya setelah pekerjaan selesai. Itulah kenapa saya memutuskan pindah dari Suitmedia untuk fokus di Bukalapak, karena yang banyak memperjuangkan di awal juga saya, ide Bukalapak waktu itu juga berasal dari saya.
Hal seperti ini dilakukan oleh hanya 2 orang staf kami, 1 staf bantu-bantu karena aslinya engineer, jadi ya 1 orang saja sebenarnya, dibantu oleh saya kami lakukan secara berkelanjutan, sehari 1 orang bisa mengajak 100 orang lewat Facebook messages untuk mengajak orang berjualan di Bukalapak.
Kami menganggap progress Bukalapak saat ini tidak secepat yang kami bayangkan, cobalah lihat Pinterest, Twitter yang tractionnya dahsyat. Dengan pertumbuhan seperti sekarang, mungkin butuh 10 tahun baru bisa selevel dengan tier two website, seperti Okezone misalnya, oleh karena itu kami harus bekerja lebih keras.
Kalau dengan 2 orang staf kami bisa jalan, dengan 10 orang harusnya kami bisa lebih cepat, cara berpikir saya seperti itu, kalau ternyata hasilnya tidak begitu ya berarti ada yang salah.
Traction dan Memecahkan Masalah di Ecommerce
Untuk mendapatkan traction atau result bagus dari suatu marketing effort, startup harus menyelesaikan masalah yang besar atau yang paling matter.
Kalau di Indonesia, untuk E-commerce, challenge di Indonesia itu kepercayaan. Kalau saya tanya kenapa belum belanja online, dari 10 orang yang saya tanya, 8 menjawab tidak percaya, apakah barang yang dibeli bisa sampai,  sampainya cepet atau tidak, barangnya apakah cocok dengan ekspektasinya, dari 8 orang ini, 2 orang di antaranya menjawab takut tertipu, menurut saya sebenarnya bukan masalah keamanan, tetapi masalah kepercayaan. Jadi kami harus fokus bagaimana menyelesaikan masalah kepercayaan ini, misalnya mengedukasi seller.
Di ecommerce ada 2 sisi : seller dan buyer. Masalah di sisi seller adalah bagaimana mereka dapat revenue tinggi dan sebaliknya buyer butuh seller yang menjual barang bagus. Keduanya ini harus di manage.
Saya pernah ketemu counter HP, barangnya dia murah, terus saya tanya kenapa tidak jual online? Dia jawab “takut perang harga, di semua forum online pada nawar-nawar, kompetitor juga ikut menurunkan harga”. Kecenderungan sekarang, jualan online juga jadi ajang price war, di sisi lain, pengusaha online ini juga tidak punya brand. Seharusnya mereka bisa menonjolkan service dan kelebihan dia yang lain. Online shop seharusnya branded.
Kami sering membuat kisah sukses dari seller online lalu kami sebar ke Twitter, gunanya untuk mengedukasi rekan-rekan seller bahwa untuk menjadi seller terpercaya itu penting sekali, sekarang juga ada beberapa seller yang berani jual sedikit mahal, karena memiliki banyak rekomendasi, sehingga buyer memilih bayar lebih mahal tetapi barang sampainya cepat dan terpercaya. Aspek ini yang masih kurang di sisi online, saat ini mayoritas buyer melihat semua seller sama saja, price war diutamakan, walaupun ada buyer yang bisa menyelidiki seller mana yang sudah aktif di berbagai forum online, tetapi orang awam tidak bisa membedakan.
Kredibilitas toko online sangat dipengaruhi oleh good experience. Kalau jualan barang, barangnya harus bagus, sampai ke pihak buyer juga harus bagus, packagingnya harus bagus, sampainya cepat. Hal seperti ini banyak sekali pekerjaan rumahnya, kadang di online marketplace juga ada seller yang deskripsinya tidak sesuai dengan barangnya, ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi online marketplace di Indonesia untuk bareng-bareng mengedukasi seller.
Fundraising
Fundraising itu sebenarnya alat untuk tumbuh mencapai visi kita. Tetapi saya melihat banyak startup yang menjadikannya tujuan.
Kalau kita tidak butuh alat, dan sudah punya alat lainnya ya kita tidak tidak perlu pakai.
Di Hijup, kami bisa profitable since first month, tidak butuh fundraising, kalau dikasih duit malah bingung buat apa?
Kalau Bukalapak, memang berbeda, sangat challenging, visinya menyediakan service bagi penjual dan pembeli supaya saling percaya via online, business modelnya unik, sekarang belum ada business model marketplace yang untung, kebanyakan tidak mengenakan charge ke user. Kompetisinya sendiri juga ketat, sehingga kami butuh “bensin” dalam bentuk fundraising supaya bisa bernafas lebih lama.
Bagaimana cara dapat fundraising? Kerja. It’s all about execution & performance, dana yang didapat itu digunakan untuk bekerja, yang menentukan nilai perusahaan kita itu ya hasil kerja kita. Kalau kerjaan kita bagus, investor akan respek dengan kita.
Kadang ada juga investor series A 10 miliar, saya bahkan harus menahan-nahan tawaran ini, karena tidak masuk akal, kami saja merasa belum show dan harus menyiapkan dapurnya.
Di Bukalapak kami cenderung ngirit dan hati-hati, tidak sembarang eksekusi strategi, hiring karyawan banyak-banyak dengan dana dari investor, saya ngetes dulu, misal kalau mau kampanye sosial media dengan target 100 ribu follower, jangan langsung bayar kanan kiri untuk tweet berbayar. Karena bisnis itu perjalanan long term, marathon, bukan sprint. Simpan dana sedikit-sedikit, yang tadinya habis 1 tahun, kalau hemat bisa tahan sampai 3 tahun. Sampai pada titik tertentu kalau kita lihat dapat tractionnya, lalu berpikir untuk expand, baru kita perlu fundraising. Misal ide kita bekerja di Jakarta, kita tes lagi di Bandung, bisa jalan, berarti make sense dong kalau kita spend budget untuk expand ke Surabaya, Semarang dan kota lainnya karena sudah ada role modelnya di Jakarta dan Bandung.
Kalau sekarang, sepeda sebagai role model tidak mudah diduplikasi ke lainnya karena momentum niche sepeda yang unik, business model kami juga belum siap untuk diduplikasi, kalau dipaksakan, kami kuatir business modelnya kurang kuat.
Saya melihat banyak startup yang besar sudah menemukan business model yang pas dan menghasilkan uang, Amazon dari awal sudah generate money, Ebay di hari pertama launching sudah generate money, untuk upload buyer harus bayar, Rakuten juga ada fixed monthly fee dan fee transaction.
Jadi kalau pendapat saya, business modelnya harus benar-benar bekerja dulu baru lakukan fundraising.
Bootstrapping
Saat Bukalapak baru ada 3 orang (hanya 2 staf dan saya sendiri, 2 orang ini pun sambil mengerjakan project di Suitmedia), kami disubsidi oleh Suitmedia, resource kami sangat terbatas, it’s all about priority, kami harus fokus pada apa yang really matter.
Satu orang ngurus teknologinya, satunya ngajakin orang. Sudah, tidak usah hiring-hiring lagi sampai itu jalan.
Prinsip ini kami pegang sampai sekarang. Apa yang paling penting itu kami kerjakan satu hal itu dengan sangat fokus. Kalau sambil mikirin yang lain, bisa tidak fokus, tidak bisa detail dan bisa-bisa tidak ada hasilnya.
Kalau investor datang, saya cenderung tidak minta-minta, saya percaya kami punya power untuk menghasilkan performance bagus, tidak di funding pun kami juga bisa jalan walaupun agak pelan.
Founder Bukalapak
Founder Suitmedia/Bukalapak awalnya saya, Achmad Zaky dan Nugroho, kami berdua dari Teknik Informatika ITB.
Fajrin teman dekat saya, masuk belakangan ke Bukalapak, resign dari BCG (Boston Consulting Group), cerita tentang Fajrin ini juga menarik.
Saya sendiri jujur sebelum memulai memulai ini semua, lulus kuliah saya apply ke BCG dan Mckinsey. Goal saya waktu itu Cuma 2 : Kerja di tempat yang paling bagus, which is BCG dan Mckinsey waktu itu. Tetapi saya gagal dapat pekerjaan di dua tempat ini, di dua tempat ini rata-rata mereka hanya hiring 1 orang, sangat challenging. Lalu saya rekomendasikan Fajrin, saat itu dia belum business minded, sangat scientist minded karena hobinya matematika. Fajrin ikut test, terus lolos.
Berjalan setahun, kami berdua sering saling kontak, suatu saat Fajrin bilang ke saya kalau dia bosan, kurang challenging Di BCG dia advice strategi kepada konglomerat, bagi dia “that’s it” selamanya dia jadi advisor aja, dia ingin bangun sesuatu dari nol, lalu suatu saat, saya bilang ke dia, “Suitmedia jalan nih!” Kami punya client base yang bagus, kami ada kas cukup lumayan, ada Bukalapak, saya juga cerita kalau saya lagi ngobrol dengan Takeshi Ebihara dari Batavia Incubator, lalu dia tanya “wah? Beneran nih?” lalu Fajrin ikut gabung dan ikut deal dengan investor. Saat itu saya keder juga karena saya tidak sanggup menggaji dia begitu tinggi, akhirnya saya kasih share.
Saya sendiri backgroundnya technical, waktu kuliah tingkat tiga sempat buat startup Deft Technology namanya, coding sendiri, sempat punya warung! Benar-benar offline store, jadi saya ada background bisnis dan juga teknikal. Sejak SMA saya juga sering jualan kecil-kecilan. Tapi sebenarnya waktu baru mau masuk ITB tujuan saya cari kerja bagus dengan gaji besar, tapi sambil berjalannya waktu di ITB, saya merasakan perubahan, kata orang-orang di ITB sangat entreprenerial, karena lulusannya bisa jadi role model, ada Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, di sana imagenya entrepreneur itu keren. Makanya pilihan saya Cuma 2 : Kerja di perusahaan seperti Mckinsey, BCG atau buat perusahaan sendiri dan perusahaannya harus jadi besar.
Kami sering membicarakan valuasi saham kami dengan detail, valuasi saham dibangun dari kerja, setiap pekerjaan yang kita buat membuat nilai pekerjaan meningkat, semakin efektif dan semakin cepat kita kerja, membuat value perusahaan cepat naik. Senantiasa kami mencari cara bagaimana kita kerja yang menghasilkan value.
Kalau saya menilai perusahaan dari kas dan people, bila orang berani bayar untuk service kami, kas akan datang, makanya bagi kami, ngirit itu penting banget, harus yakin apa yang kita spend itu building value perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar