DEMOKRASI
DIGITAL
Dimana dalam
arti tertentu partisipasi publik dimanifestasikan melalui media teknologi -
contoh internet. Barry N. Hague dalam pengantar buku antologi tentang diskursus
demokrasi elektronik (1999) menjelaskan beberapa unsur demokrasi yang
mencerminkan nilai-nilai demokrasi digital. Di antaranya adalah: sifatnya yang
interaktif; proses interaktif mengandaikan adanya komunikasi yang bersifat
resiprokalitas, semua warga negara bisa berdialog secara interaktif.
Lalu lewat
demokrasi digital juga dijamin Kebebasan berbicara; sehingga pengguna internet
atau teknologi informasi dapat mengekspresikan dirinya tanpa kontrol yang
signifikan dari penguasa. Setiap warga negara misalnya bisa secara diskursif
mengetengahkan gagasan-gagasannya yang paling gila sekalipun. Selain itu
terbentuknya komunitas virtual yang peduli terhadap kepentingan publik dan
komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi
digital juga informasi atau kajian politik dapat diproduksi secara bebas dan
disebarkan ke ruang publik virtual untuk diuji.
Melihat
paparan Barry N. Hague tersebut di atas adalah jelas bahwa demokrasi digital
menekankan partisipasi dalam ruang publik virtual. Sehingga diskursus
sepenuhnya dimanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital; lewat surat
elektronik, newsgroup, milis, live discussion, website dan bentuk-bentuk lain
dari perkembangan TI yang dapat disesuaikan. Berawal dari sini dipahami bahwa
ada semacam dialektika antara teknologi dan masyarakat. Dialektika ini
menghasilkan satu terma yang bernama demokrasi digital.
Di dalamnya
setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya secara langsung. Karena itulah
demokrasi digital dapat dikatakan mempunyai bentuk yang kira-kira sama dengan
demokrasi yang dipraktikan pada zaman Yunani dan Roma kuno. Selain lewat
teknologi informasi, seperti kita ketahui ruang publik juga disediakan oleh
industri media massa seperti televisi, radio, koran atau majalah.
KONSEP
Pada zaman
elektronik, konsep virtual mempunyai banyak arti. Selain dalam arti seperti
tersebut di atas, dunia virtual juga sering disebut sebagai sebagai dunia
simulasi; seperti yang dihadirkan oleh sinema atau komputer grafik. Ada
pandangan lainnya yang mensejajarkannya dengan ruang saiber atau internet.
Ada juga
yang memahami dunia virtual sebagai informasi (teks) dan imagi yang dihadirkan
oleh media (televisi, majalah atau koran), yang virtual dalam konteks ini
merupakan (re)- presentasi dari dunia aktual. Yang aktual divirtualkan.
Sebenarnya dari semua definisi di atas dipahami adanya satu kesamaan, bahwa
yang virtual tak pernah hadir begitu saja ia selalu dikonstruksikan, manusia
selalu memvirtualisasikan kenyataan. Proses virtualisasi bukanlah sesuatu yang
sifatnya alamiah. Karena ia mengandaikan sebuah upaya menampilkan kembali
secara etis, politis, dan estetis segala yang aktual (kenyataan sesungguhnya)
ke dalam sebuah medium.
Karenanya
wajar bila ada asumsi yang mengatakan bahwa dunia kehidupan sekarang terangkum
dalam sebuah layar. Seseorang bisa saja melihat sesuatu secara langsung (real
time) kejadian yang terjadi di belahan dunia lain. Untuk memperluas cakrawala
perseptual, kita hanya memerlukan mata dan pikiran saja. Asumsi inilah yang
mengantarkan kita pada sebuah ide tentang mutasi ontologi dalam sejarah
kehidupan manusia.
Realitas
bergerak dinamis, walalaupun kita tidak menggerakkantubuh. Kerlap-kerlip
televisi (dan tentunya juga internet) dalam setiap rumah misalnya telah
menyediakan ruang secara virtual dan aktual sekaligus.
Demikian
juga ketika realitas hilang dalam gelap bioskop. Manusia berkerumun dan secara
bersama-sama merasakan ekstase sinematik, merasakan emosi-emosi temporal
(artifisial) yang distimulasi oleh gambar bergerak. Industri film yang telah
menyebar sampai ke pelosok-pelosok negeri jelaslah memberikan sebuah gambaran
betapa manusia tak puas dengan hidupnya yang biasa-biasa saja.
Menonton
film misalnya menjadi semacam ritus, manusia seperti ingin lari dari kenyataan,
bukan mempelajarinyah demikian kata Rosalind William dalam bukunya The Dream
World: Mass Consumption in Late Nineteeenth-Century.
Sekarang
keterasingan tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab keterasingan itu
sendiri (relasi produksi). Kini kekuasaan kapitalis telah mengimunisasikan
dirinya dan menguatkan cengkeramannya dengan memproduksi sesuatu yang dapat
menangkal keterasingan yang diidap masyarakat pos-industri; yakni film.
Industri
film (dan hiburan) juga telah merekam roh zaman - dengan mengartikulasikan,
atau merepresentasikan sejarah secara dramatik dan artistik. Sejarah dalam arti
tertentu divirtualkan lewat alat-alat teknologi. Inilah yang membuat
Baudrillard secara profetik mengatakan tentang adanya semacam zaman di mana
film dan sejarah menjadi tak terpisah dan terdefinisikan. Yaitu ketika kita
tidak bisa mengetahui apakah gambar bergerak yang ditampilkan dalam film
Ben-Hur si pangeran Yahudi itu ada pada zaman modern atau pada zaman kekaisaran
Romawi awal abad Masehi. Ada semacam skizofrenia sejarah dalam virtualitas yang
dihadirkan lewat film. Dalam internet, yakni cyberspace, virtualitas menemukan
bentuk sejatinya. Seseorang dalam ruang ini tidak saja menjadi penerima pasif
informasi atau imagi (seperti dalam film atau acara televisi), tapi ia juga
dapat dengan aktif memproduksinya; bahkan seseorang dapat memvirtualisasikan
dunia dirinya.
Ruang ini
secara etis dan politis memang kacau balau, tapi tak dapat dimungkiri di
sinilah kita mengerti secara tentatif apa itu kebebasan - dalam arti anarki
atau kebebasan absolut. Kebebasan dikatakan ada dalam ruang cyber karena memang
dalam ruang ini tak ada relasi kekuasaan yang menentukan sesuatu secara etis,
estetis dan politis. Dari yang suci sampai yang terkutuk ada dalam ruang ini.
Virtualisasi kenyataan dalam sinema, televisi atau internet dalam arti tertentu
memang telah mengaburkan cara pandang manusia tentang dunianya. Yang aktual
misalnya secara ontologis bisa melebur dengan yang virtual lewat teknologi
satelit. Karenanya ia mempunyai efek yang cukup mempengaruhi kehidupan sosial
masyarakat.
Bagaimana ia
secara etis mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat adalah virtualisasi teror.
Virtualisasi teror terjadi ketika keadaan takut dan trauma akibat aksi teroris
dihadirkan, disebarkan, dan gemakan kembali oleh media informasi; sehingga
tercapailah tujuan utama dari teror. Wajarlah bila Derrida mengatakan, dalam
penafsiran Giovanna Borradori (dalam bukunya Philosophy in a Time of Terror),
bahwa media, juga kekuasaan politik tentunya, punya andil dan tanggung jawab
untuk mereduksi dan menyebarkan teror.
Derrida
dalam hal ini sebenarnya mencoba menyampaikan bahwa esensi dari teror adalah
ketakutan yang digemakan dan disebarkan. Inilah yang dipercaya olehnya sebagai
semasa depan terorisme; yakni serangan-serangan virtual. Serangan virtual tentu
tidak hanya informasi mencekam tentang bencana teror saja, tapi juga banyak
lainnya.
Misalnya
rekayasa kultural guna mendukung laju dan kepentingan pasar global yang semakin
hari semakin menjauhi nilai-nilai keadilan melalui film atau acara televisi.
Dari sinilah kita ketahui bahwa virtualitas telah menjelma menjadi kekuatan
yang menentukan nilai-nilai, atau, katakanlah, lokus utama diskursus. Ia dalam
beberapa hal merupakan cermin yang memantulkan (yang terkadang membiaskan)
gambaran kondisi masyarakat.
Media
Digital Tradisional
Di
berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam
berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di
daerah-daerah itu
Media
tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih
sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan
ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional
sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau
diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan
oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan,
mengajar, dan mendidik.
Ragam
Media Tradisional :
- Cerita prosa rakyat (mite,
legenda, dongeng);
- Ungkapan rakyat (peribahasa,
pemeo, pepatah);
- Puisi rakyat;
- Nyayian rakyat;
- Teater rakyat;
- Gerak isyarat (memicingkan
mata tanda cinta);
- Alat pengingat (mengirim
sisrih berarti meminang); dan
- Alat bunyi-bunyian
(kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Fungsi
Media Tradisional :
- Sebagai sistem proyeksi
- Sebagai penguat adat
masyarakat
- Sebagai alat pendidik
- Sebagai alat paksaan dan
pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Media
Digital Modern
Media
digital modern merupakan bentuk media elektronik yang menyimpan data dalam
wujud digital, bukan analog. Pengertian dari media digital dapat mengacu kepada
aspek teknis (misalnya harddisk sebagai media penyimpan digital) dan aspek
transmisi (misalnya jaringan komputer untuk penyebaran informasi digital),
namun dapat juga mengacu kepada produk akhirnya seperti video digital, audio
digital, tanda tangan digital serta seni digital.
Contoh
contoh Media Digital Modern :
- youtube.com
- vidio.com
- facebook.com
- twitter.com
Fungsi :
- Mendapatkan Informasi
terkini
- Mencari ilmu
- Mencari hiburan
Contoh
Kasus : Elektronik Votes In Haiti
Indonesia
memasuki sebuah terobosan baru dalam dunia informasi dan komunikasi. Indonesia
merupakan negara berkembang yang mulai memanfaatkan media informasi dan
komunikasi khususnya intrernet sebagai media komunikasi, transaksi elektronik
dan lain sebagainya. Maka dari itu dibuatlah undang-undang No.11 tahun
2008 pada tanggal 25 Maret 2008. Undang – undang ini berfungsi untuk menjawab
permasalahan hukum yang seringkali dihadapi, diantaranya penyampaian informasi,
komunikasi dan transaksi secara elektronik.
SUMBER
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar